Kamis, 09 Januari 2020

Dari Rengasdengklok Hingga Pegangsaan Timur

Perang Dunia II yang berkecamuk sejak tahun 1939 telah menyebabkan kedua kelompok yakni Sekutu dan negara-negara fasis saling menyerang. Pada tanggal 6 Agustus 1945, bom atom pertama diledak kan di kota Hirosihma, sementara pada tanggal 9 Agustus 1945 bom atom diledakan di kota Nagasaki. Kehancuran Kota Hiroshima dan Nagasaki memukul perasaan bangsa Jepang. Pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu, inilah yang menandai berakhirnya Perang Dunia (PD) II.

Pada tanggal 7 Agustus 1945, Jenderal Terauchi menyetujui pembentukan Dokuritsu Junbi Inkai atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang tugasnya melanjutkan pekerjaan BPUPKI yang diketuai oleh Ir. Sukarno dengan wakil Drs. Moh. Hatta.

Pada tanggal 9 Agustus 1945 Jenderal Terauchi memanggil Sukarno, Moh. Hatta, dan Rajiman Wedyodiningrat untuk pergi ke Dalat, Saigon. Kemudian Terauchi menegaskan bahwa Jepang akan menyerahkan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Sukarno, Moh. Hatta, dan Rajiman Wedyodiningrat pulang kembali ke Jakarta pada tanggal 14 Agustus.

A. Perbedaan Pendapat dan Penculikan
Para pemuda mendesak para tokoh senior untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Sutan Syahrir segera menemui Moh. Hatta dan mendesak agar Sukarno dan Moh. Hatta segera memerdekakan Indonesia. Namun, ternyata Sukarno dan Moh. Hatta belum bersedia.

Hari Rabu tanggal 15 Agustus 1945 sekitar pukul 22.00 WIB, para pemuda yang dipimpin Wikana, Sukarni, dan Darwis datang di rumah Sukarno. Wikana dan Darwis memaksa Sukarno untuk memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia paling lambat tanggal 16 Agustus 1945. Namun Soekarno menolak.

Para mengadakan pertemuan di Jl Cikini 71 Jakarta antara lain Sukarni, Yusuf Kunto, Chaerul Saleh, dan Shodanco Singgih. Mereka sepakat untuk membawa Sukarno dan Moh. Hatta ke luar kota agar jauh dari pengaruh Jepang dan bersedia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. 

Tanggal 16 Agustus rombongan Sukarno, Moh. Hatta, dan para pemuda menuju Rengasdengklok. Mereka diterima oleh Shodanco Subeno dan Affan. Mereka ditempatkan di rumah Kie Song yang simpati pada perjuangan bangsa Indonesia.

Jakarta berada dalam keadaan tegang karena tanggal 16 Agustus 1945 seharusnya diadakan pertemuan PPKI, tetapi Sukarno dan Moh. Hatta tidak ada di tempat. Ahmad Subarjo segera mencari kedua tokoh tersebut. Akhirnya setelah terjadi kesepakatan dengan Wikana, Ahmad Subarjo ditunjukkan dan diantarkan ke Rengasdengklok oleh Yusuf Kunto.

Akhirnya Ahmad Subarjo memberikan jaminan. Apabila besok (tanggal 17 Agustus) paling lambat pukul 12.00, belum ada Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, taruhannya nyawa Ahmad Subarjo. Ir. Sukarno, Drs. Moh. Hatta, dan rombongan kembali ke Jakarta.

B. Perumusan Teks Proklamasi
Rombongan Sukarno segera kembali ke rumah Laksamana Maeda di Jalan Imam Bonjol No. 1. Di rumah Maeda, hadir para anggota PPKI, para pemimpin pemuda, para pemimpin pergerakan, dan beberapa anggota Chuo Sangi In. Laksamana Maeda simpatik terhadap gerakan kemerdekaan Indonesia.

Sukarno dan Moh. Hatta diantarkan Laksamana Maeda menemui Gunseikan Mayor Jenderal Hoichi Yamamoto, akan tetapi Gunseikan menolak menerima Sukarno-Hatta pada tengah malam. Dengan ditemani oleh Maeda, Shigetada Nishijima dan Tomegoro Yoshizumi serta Miyoshi, mereka pergi menemui Somubuco Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, dengan maksud untuk menjajaki sikapnya terhadap pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Berdasarkan keadaan status quo Jepang, Nishimura melarang Sukarno-Hatta untuk mengadakan rapat PPKI dalam rangka pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan. Sampailah Sukarno-Hatta pada kesimpulan bahwa tidak ada gunanya lagi untuk membicarakan soal kemerdekaan Indonesia dengan pihak Jepang.

Sukarno dan Hatta kembali ke rumah Maeda untuk merumuskan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Nishimura bersama Sukarni, Sudiro, dan B.M. Diah menyaksikan Sukarno, Hatta, dan Ahmad Subarjo membahas perumusan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Sukarni mengusulkan agar teks proklamasi cukup ditandatangani dua orang tokoh, yakni Sukarno dan Moh. Hatta, atas nama bangsa Indonesia, kemudian diserahkan kepada Sayuti Melik untuk diketik.

Sukarni mengusulkan agar naskah tersebut dibacakan di Lapangan Ikada, tetapi Sukarno tidak setuju, karena tempat itu adalah tempat umum yang dapat memancing bentrokan antara rakyat dengan militer Jepang. Beliau sendiri mengusulkan agar Proklamasi dilakukan di rumahnya di Jalan Pegangsaan Timur No.56.

C. Pembacaan Proklamasi
Mereka telah sepakat untuk memproklamasikan kemerdekaan di rumah Sukarno di Jl. Pegangsaan Timur No. 56 pada pukul 10 pagi. Hatta berpesan kepada B.M. Diah untuk memperbanyak teks Proklamasi dan menyiarkannya ke seluruh dunia.

Untuk menjaga keamanan upacara pembacaan Proklamasi, dr. Muwardi meminta Latief Hendraningrat beserta beberapa anak buahnya untuk berjaga-jaga di sekitar rumah Sukarno. Walikota Jakarta, Suwiryo memerintahkan kepada Wilopo untuk mempersiapkan mikrofon, Sudiro memerintahkan kepada S. Suhud untuk menyiapkan tiang bendera. Bendera dijahit Ibu Fatmawati sendiri  yang dikenal dengan bendera pusaka.
 Perang Dunia II yang berkecamuk sejak tahun  Dari Rengasdengklok Hingga Pegangsaan Timur
Hari Jumat Legi, tepat pukul 10.00 WIB, Sukarno dan Moh. Hatta keluar ke serambi depan, diikuti oleh Ibu Fatmawati. Sukarno dan Moh. Hatta membacakan teks proklamasi dan dilanjutkan pengibaran bendera Merah Putih yang dilakukan oleh Latief Hendraningrat dan S. Suhud. Bersamaan dengan naiknya bendera Merah Putih, para hadirin secara spontan menyanyikan lagu Indonesia Raya tanpa ada yang memimpin.

D. Kebahagiaan Rakyat atas Kemerdekaan Indonesia
Pada tanggal 22 Agustus, Jepang akhirnya secara resmi mengumumkan penyerahannya kepada Sekutu. Antara tanggal 3-11 September, para pemuda di Jakarta mengambil alih kekuasaan atas stasiun-stasiun kereta api, sistem listrik, dan stasiun pemancar radio tanpa mendapat perlawanan dari pihak Jepang. Pada akhir bulan September, instalasi-instalasi penting di Yogyakarta, Surakarta, Malang, dan Bandung juga sudah berada di tangan para pemuda Indonesia.

Tanggal 3 September 1945, para pemuda mengambil alih kereta api termasuk bengkel di Manggarai. Tanggal 5 September 1945, Gedung Radio Jakarta dapat dikuasai. Tanggal 11 September 1945, seluruh Jawatan Radio berhasil dikuasai oleh Republik. Oleh karena itu, tanggal 11 September dijadikan hari lahir Radio Republik Indonesia (RRI).

Tanggal 19 Agustus 1945 Sri Sultan Hamengkubuwana IX dan Sri Paku Alam VIII telah mengirim kawat ucapan selamat kepada Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta atas berdirinya Negara Republik Indonesia dan atas terpilihnya dua tokoh tersebut sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

Sri Sultan Hamengkubuwana IX dan Sri Paku Alam VII pada tanggal 5 September 1945 mengeluarkan amanat antara lain sebagai berikut.
  1. Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat bersifat kerajaan dan merupakan daerah istimewa dari Negara Indonesia.
  2. Sri Sultan sebagai kepala daerah dan memegang kekuasaan atas Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat.
  3. Hubungan antara Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara RI bersifat langsung. Sultan selaku Kepala Daerah Istimewa bertanggung jawab kepada Presiden.

Pada tanggal 19 September 1945, seorang bernama Ploegman dibantu kawan-kawannya mengibarkan bendera Merah Putih Biru di atas Hotel Yamato. Hal ini telah mendorong kemarahan para pemuda yang kemudian menyerbu Hotel Yamato dan menurunkan bendera Merah Putih Biru, kemudian merobek bagian warna birunnya sehingga menjadi bendera Merah Putih.